Terperosok Lubang
Mendung pagi ini mengurungku dalam ketidakpastian, meski aku sadar
masa depan tidak ada yang pasti. Awan hitam bergerombol menari-nari
membuat penikmat aktivitas pagi perlu berpikir sebelum menjejak jalan
tanpa kawan jas hujan maupun payung. Keraguan menyapaku sejenak
sebelum aku putuskan tetap pergi meski harus berkawan butiran air
langit yang selama hampir seminggu tak aku jumpai. Tak butuh waktu
lama, aku sudah melenggang di jalan raya yang lumayan sepi dari
biasanya sambil memacu motor santai. Tentu saja di tubuhku melekat
kostum wajib pesta hujan yang tak ku ingat kapan terakhir sengaja
dicuci. Kenapa mesti dicuci kalau tiap hujan pasti tersentuh air,
pikirku konyol. Di sepanjang jalur yang ku lalui kusempatkan melirik
arah kiri sekedar mengamati derita orang-orang tanpa persiapan bertemu
tetes-tetes hujan. Di kanan jalan terbentang salah satu sungai besar
di jawa, orang-orang biasa menyebutnya Brantas. Entah kenapa dinamai
sungai Brantas, mungkin karena sungai itu siap memberantas desa-desa
di sekitarnya, pikirku sambil cekikikan dalam hati.
"Jancoook...", terdengar jelas olehku umpatan fasih penuh amarah
yang juga sudah mendarah daging ku dengar di kota ini.
Celingak-celinguk mataku mulai membrowsing sumber pelantun kata tadi.
Akhirnya tertangkap oleh mataku suatu pemandangan tak aneh lagi di
jalanan. Kudapati seorang manusia tengah bergulingan di aspal becek,
jangan berpikiran dia melakukan dengan sengaja. Tidak jauh darinya
seorang lelaki kekar berkulit gelap berambut gondrong dengan wajah
sangar masih bertengger di atas sepeda usangnya. Wajah tak ramah aku
tafsirkan dari sorot mata dihiasi alis dan kumis tebalnya ditambah
umpatan kasar yang senantiasa keluar dari bibir hitamnya, yang
menandakan seorang pecandu rokok. Seketika pandanganku ku tujukan
kembali ke sosok yang mulai bergerak mencoba untuk bangkit itu, sama
sepertiku yang mulai bangkit dari lamunanku tentang pria sangar itu.
"Lho pak, knapa ndak ditolong toh?", ku beranikan bertanya sambil
kuparki motorku ditengah jalan bermaksud agar tidak ada yang lewat.
"Gak ngurus, salah'e dewe nyebrang gak tolah-toleh", ucapnya kasar
mengalir tanpa perasaan.
Tak salah aku menduga tadi, memang sesuai dengan mukanya yang terlihat bengis.
"Aneh, kok sepi banget ya?", ungkapku dalam hati sambil mencari
tanda-tanda kehidupan manusia lainnya. Yang terlihat hanyalah jajaran
toko-toko yang masih tutup dan bibir sungai Brantas. Lantas aku
berjongkok untuk melihat keadaan orang yang masih tergeletak. Ku
pegang pundaknya mencoba membantunya untuk duduk. Sepersekian detik
kemudian dia sanggup duduk dan menoleh. "Subhanallah", jeritku dalam
hati.
Seraut wajah cantik putih meski terbalut mimik kesakitan dan sedikit
percikan tanah basah menatap ke arahku. Seketika mataku merekam wajah
itu dan mentransfernya ke otak membuat sistem transportasi dalam
tubuhku memacu lebih cepat. Aku tak mampu menemukan jawaban atas apa
yang terjadi dalam diriku saat aku hubungkan dengan pelajaran biologi
di SMA meskipun tak sempat juga aku mencarinya. Yang aku tau diriku
tengah terperosok ke dalam lubang namun tak ku rasakan sakit. Kata
orang sih lubang itu dinamakan lubang cinta.
"Mas, kenapa?", tiba-tiba suara lembut membuyarkan lamunanku.
"Oh, ndak apa-apa. Sampean gimana keadaannya?", jawabku gelagapan
sambil tertunduk.
Belum sempat mendapat jawaban yang sengaja aku tunggu, sesuatu yang
keras menjamah tengkukku dengan kasar. Sontak saja penglihatanku mulai
kabur, sepertinya dunia mulai melepaskan diri dari mataku.
Aku berpikir apakah aku kali ini benar-benar akan terperosok ke dalam
sebuah lubang? Entah lubang cinta yang ku bayangkan tadi atau lubang
jebakan, mungkin juga lubang maut. Yang pasti terperosok lubang itu
sakit, umpannya hanyalah kesenangan semu.
Kini gelap telah membalutku.
RKMojokerto, 14 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar