SESAL ITU MEMBUNUHKU
“Huaaah….., mata udah nggak bisa di ajak kompromi.” Kata temanku sambil menutup mulutnya dengan tangan.
“Sabar dikit donk. Sebentar lagi pasti udah kelar.” Kataku merespon.
“Udah kelar katamu? Lihat tu masih setumpuk lagi. Si gendut kalau ngasih tugas nggak kira-kira dulu. Mungkin sekarang dia lagi enak-enakan ngorok?”
“Udalah jangan ngeluh terus, nanti malah nggak kelar-kelar. Lagian ini resiko kita sebagai bawahan.”
“Iya sih, tapi jangan seenaknya kayak gini. Ini sih udah keterlaluan.”
Aku hanya tersenyum kacil untuk membalasnya. Aku berpikiran tak ada guna mladeni orang yang sedang kesal. Bisa-bisa aku malah bertengkar. Diapun akhirnya diam setelah tak ada respon dariku. Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara langkah jarum jam dalam kesepian.
“Hi...hi...hi...”, suara cekikikan memecah keheningan.
“Masya Allah”, kataku spontan.
“Sory, kaget ya? Ini cuma suara nada deringku”, kata supri merogoh hpnya yang masih cekikikan dalam saku.
Saat supri sedang menerima telepon, aku tetap melanjutkan pekerjaanku yang masih tinggal setengah lagi.
“Innalillahi wa’innaillahirroji'un”, ucap supri kaget.
“Ada apa, Pri?”, tanyaku ingin tahu.
“Mertuaku di Surabaya meninggal, dan sekarang aku diminta istriku pulang dan pergi ke Surabaya malam ini juga.”
“Innalillahi wa’innaillahiroji'un, sudahlah cepat pulang. Kau pasti tahu perasaan istrimu kan?”
“Tapi gimana lagi dengan tugas-tugas ini? Kan belum selesai.”
“Udah nggak apa-apa biar aku yang urus. Lagian urusamu kan lebih penting?”
“Bener nggak apa-apa? Sory banget lho udah ngerapotin kamu lagi.”
“Udah cepet, sebelum aku barubah pikiran lho.”
“Ok, thanks ya. Kamu memang temen sejatiku. Kutinggal dulu ya? Assalamualaikum.”
“Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya.”
Suasana sepi kembali. Kini lebih sepi. Yang terdengar Cuma suara napasku yang mulai ngos-ngosan. Rasa kantuk tiba-tiba menyerangku. Awalnya kurasakan hanya sedikit, tapi lama-lama rasa itu semakin telak mengenaiku. Hingga akhirnya aku berada dalam keadaan tak sadarkan diri alias tidur.
Seberkas cahaya kuat membuatku terjaga.
“Masya Allah, aku tertidur.”
Kutatap jam dinding yang jarumnya masih tetap bergerak-gerak seperti kemarin. Tapi saat ini terlihat seolah-olah mengejekku. Angka tujuh kali ini menjadi pilihan jarum pendek. Pandanganku kuputar kearah tumpukan kertas yang seakan berteriak-teriak ingin kujamah. Tanpa pikir panjang, aku segera mengabulkan keinginan kertas-kertas itu satu persatu.
“Alhamdulillah”, ujar lega.
Tugas-tugas itu terselesaikan ketika jarum pendek telah pindah dua angka. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Keadaan kantor begitu sepi karena hari ini hari minggu. Setelah itu kusempatkan menjamah benda yang sejak kemarin malam tak terjamah. Handphoneku. Bagitu aku aktifkan serbu pesan singkat datang silih berganti.
Pesan pertama kubuka.
“Ka’ jam segini ko’ lom pulng”
Kuhitung ada empat kali pesan yang sama juga dari pengirim yang sama. “Imelda” adik perempuanku.
“Asslm Woe... boz!! Gmn acra mancingx? Jd g’”
Dari pengirim beridentitas “Joy”
“Astghfirullah, aku kan punya janji sama temen-temenku jam sepuluh.” Secara langsung pandanganku kusorotkan pada jam dinding saat itu menunjukan 46 menit meninggalkan jam 9. Aku bergegas keluar menuju kendaraanku.
Lalu lintas hari ini cukup lengang. Tak begitu banyak kendaraan pribadi yang keluyuran. Aku memutuskan pulang dahulu dan meminta teman-teman menjemputku di rumah. Saat hampir melewati depan rumah supri, ku saksikan dari kejauhan banyak orang keluar masuk mengenakan pakaian serba hitam. Aku sempat berpikiran kalau mertua Supri yang meninggal dibawa kesini dan akan di makamkan di kota ini juga. Kucari nama “Joy” di buku teleponku,
“Assalamualakum Joy. Sory kemarin hpku nggak kuaktifkan.”
“Walaikumsalam. Nggak apa-apa Bob, aku ngerti kalau kamu super sibuk. Terus mancingnya jadi nggak?”
“Sory Joy, kali ini aku nggak bisa lagi. Aku sekarang mau melayat kerumah temenku. Mertuanya meninggal.”
“Wah, kebetulan kalu gitu. Anak-anak kayaknya juga banyak yang nggak bisa ikut. kalau saja jadi, mungkin Cuma aku, kamu dan si Zombi yang bisa.”
“Kalau gitu kapan-kapan kita bikin acara lagi aja. Udah dulu ya”, Ujarku mengakhiri
“OK.”
Dari dalam rumah Supri kudengar lafalan-lafalan ayat-ayat Qur’an oleh para pelayat. Kuparkir motorku ditempat yang sengaja disediakan untuk para pelayat. Bergegas aku ingin menamui Supri dan istrinya untuk sekedar menyampaikan rasa bela sungkawa.
Diriku bagai disambar petir di siang bolong ketika kulihat ada dua jenazah yang terbaring yang diujung tubuh bagian kepala terpampang foto Supri dan Istrinya. Aku sempat tak mempercayai apa yang sedang kulihat, mungkin ini sisa mimpi burukku kemarin malam. Anggapan itu sirna saat mas Herman. Kakak Supri menyambut kedatanganku dan memperslahkanku memberi penghormatan terakhir pada almarhum Supri dan Istrinya.
“Sulit sekali nomor kamu dihubungi. Ketika kuhubngi nomor telepon rumah katanya kamu belum pulang”, keluh mas Herman.
Keluhan Mas Herman tak ku tanggapi. Pikiranku masih kacau. Antara percaya dan tidak. Mengapa bagitu singkat ini terjadi. Canda tawanya kekesalannya, bahkan makian pada bos kemarin malam masih segar dalam benakku. Waktu itu aku tidak sadar kalau itu adalah senyum, makian, tawa, terakhir kalinya.
Ingin aku memaki diriku sendiri. Ingin aku mengutuk perbuatanku yang seakan-akan menjerumuskan orang lain ke lembah maut. “Mengapa aku menyuruhnya cepat pergi waktu itu. Mungkin itu takkan terjadi jika tak kusarankan cepat pergi.” Pikiran-pikiran itu yang terus mengahatui diriku. Aku belum bisa menerima kenyataan ini. Disela-sela kekacauan muncul bayangan-bayangan kecelakaan delapan tahun silam yang merengut nyawa kedua orang tuaku.
“Yah, paman tadi telepon. Katanya nenek sakit dan ayah sama ibu diminta cepat kesana”, kata kataku ketika ayah dan ibu baru pulang.
“Yaudalah, basok saja.”
“Lho kok besok sih. Kata paman tadi disuruh secepatnya.”
“soalnya ayah nanti malam ada acara rutin di RT kita. Kalu nggak datang apa kata tetangga nanti?”
“Gimana kalau aku yang mewakili. Ayah berangkat saja. Masalah nenek sakitkan lebih penting”
“Bener, kamu mau? Kamu nggak malu ngumpul sama orang tua-tua”, sahut ibu seolah mengejek
“Nggak apa-apa kok Bu. Ini demi nenek jugakan. Lagian dari dulu aku pengen tahu apa sih yang di omongin orang tua-tua.”
“Yaudah kalu gitu ayah dan ibu berangkat dulu ya, jaga adikmu baik-baik. Kalau kamu mau keluar, titipkan dia dirumah Bu Fitri. Dan yang penting pegang janjimu. Jangan sampai nggak datang.”
“OK, beres pokoknya. Hati-hati ya.”
Tak kusadari itu merupakan pesan terakhir beliau. Saat kuterima telepon dari seseorang dan memberi tahuku ayah dan ibu mengalami kecelakaan. Tubuhku bergetar hebat. Air mata mengalir tak terbendung bahkan aku sempat tak sadarkan diri.
Kini kejadian itu seperti itu terulang lagi dalam hidupku. Kehilangan orang yang sudah kuangap seperti saudaraku sendiri.
“Dasar pembawa sial, kau tega menjerumuskan kami dalam keadaan ini”, suara itu menggema dalam otakku.
“Anak Durhaka! Kau telah membuat kami menderita. Itukah balasanmu pada kami”, kali ini suara yang 8 tahun hilang dari pendengaranku terdengar dengan nada marah.
Samar-samar muncul 2 pasang manusia dalam pandanganku yang saat itu terguncang hebat. Mereka muncul dengan di balut pakaian serba putih dan melayang di udara. Wajah ke empatnya sudah tak asing dari pengeliahtanku. Ayah, Ibu, Supri, dan Istrinya. Mereka tersenyum sinis.
“Ikutilah kami, jika kau ingin bahagia bersama kami”, kata ayah yang nadanya berlawanan dari sebelumnya.
Tak teduga, mereka berempat melayang-layang menuju kearahku seolah ingin memaksaku
“Tidak........”, Teriakku yang mungkin menbuat orang yang hadir terkejut.
“Pergi... Pergi... Pergi...”
“Ada apa Bob?”, Suara Mas Herman cemas
Tanpa menjawab pertanyaan Mas Herman, aku langsung lari keluar rumah menjauhi empat sosok yang terliahat masih mengejarku. Aku terus berlari tanapa memperhatikan sekelilingku. Mungkin orang disekelilingku sudah menganggap gila. Aku tak tahu dimana sekarang berada. Yang kupikirkan hanyalah lari. Menjauhi keempat wajah pucat tadi. Hingga tak kusadari kakiku merasakan panasnya aspal siang itu. Pertanda aku sampai di jalan raya. Terdengar suara klakson di sisi kiriku dan “Ckiii..t, bruaaak”. Tubuhku tarasa membentur benda keras. Rasa yang di timbulkannya membuatku merasa terbang kemudian kegelapan menyelimutiku.
Ryuz@_L
buat day
saat kehampaan menerkam hati
kau ada dg sejuta panah cinta
terpaan angin kebosanan
tak mampu hempaskan kesabaranmu
kala riang tertindih nestapa
kepakan sayap cintamu berikan sejuk dihati
kau puspita hati
kau punggawa jiwa
yang tumbalkan segalanya
RK
saat kehampaan menerkam hati
kau ada dg sejuta panah cinta
terpaan angin kebosanan
tak mampu hempaskan kesabaranmu
kala riang tertindih nestapa
kepakan sayap cintamu berikan sejuk dihati
kau puspita hati
kau punggawa jiwa
yang tumbalkan segalanya
demi cinta
RK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar